Kemarin ada yang berkata padaku “kau masih mengingatnya?”
aku tertawa “dia siapa yang kau maksud?”
“tidak, aku pikir kau masih sendiri seperti ini karna dia”, lalu tersenyum sungkan.
“apa kelihatan seperti itu”, ucapku datar.
“oh maaf. bukan maksudku mengungkit masa lalu, hanya aku merasa kau menutup diri dan seperti menanti seseorang”, dia tersenyum tulus.
Aku diam dan tidak menjawab lagi, aku mati kata.
apakah terlalu kelihatan seperti itu? sampai-sampai orang yang tidak terlalu dekat dengan ku pun mampu menebak dengan sangat tepat.
mungkin tanpa aku sadari aku menunggunya sejak dulu, didepan pintu hatiku.
menunggunya sampai kaki ku jenuh merasa sakit, mungkin mati rasa.
kami memang tidak sempat menjadi kita, tapi hati ku terlalu bodoh sampai menjadikannya satu-satunya disana.
logika ku berbisik “dikatakan cinta bukan hanya karna kau saja yang merasakannya, tp “dia” juga harus merasakannya”
karena itulah aku memaksa hati untuk sepakat dengan logika tentang “dia”.
hatiku memang mengikuti logikaku, tapi tetap saja dia suka melenceng, seperti sekarang dia masih saja disitu, didepan pintu.
berharap ada “dia” disana, memanggilnya lalu berkata “kita sama”
aku tertawa “dia siapa yang kau maksud?”
“tidak, aku pikir kau masih sendiri seperti ini karna dia”, lalu tersenyum sungkan.
“apa kelihatan seperti itu”, ucapku datar.
“oh maaf. bukan maksudku mengungkit masa lalu, hanya aku merasa kau menutup diri dan seperti menanti seseorang”, dia tersenyum tulus.
Aku diam dan tidak menjawab lagi, aku mati kata.
apakah terlalu kelihatan seperti itu? sampai-sampai orang yang tidak terlalu dekat dengan ku pun mampu menebak dengan sangat tepat.
mungkin tanpa aku sadari aku menunggunya sejak dulu, didepan pintu hatiku.
menunggunya sampai kaki ku jenuh merasa sakit, mungkin mati rasa.
kami memang tidak sempat menjadi kita, tapi hati ku terlalu bodoh sampai menjadikannya satu-satunya disana.
logika ku berbisik “dikatakan cinta bukan hanya karna kau saja yang merasakannya, tp “dia” juga harus merasakannya”
karena itulah aku memaksa hati untuk sepakat dengan logika tentang “dia”.
hatiku memang mengikuti logikaku, tapi tetap saja dia suka melenceng, seperti sekarang dia masih saja disitu, didepan pintu.
berharap ada “dia” disana, memanggilnya lalu berkata “kita sama”
Komentar
Posting Komentar