Hari itu kita bertemu. bukan tipe pertemuan yang tidak disengaja,
tp memang pertemuan itu kita hadiri karena kita adalah peserta
didalamnya.
saat itu kau terlihat tampan, ah bukan terlihat tampan tapi karena kau memang selalu tampan dimataku.
kau tau? aku gugup. banyak yang aku pikirkan dan lakukan agar tidak ada disana.
tapi memang hatiku yang tidak memiliki aturan memerintah otakku untuk menjadikannya masuk akal agar aku datang keacara itu.
aku yang lemah atau memang perasaan “menyedihkan” ini yang terlalu kuat hingga aku ada disana, melihatmu.
mulutku sibuk berbincang, gigi ku sibuk mengunjukkan diri tapi ditempat lain otak ku sibuk meredakan detak jantungku.
hatiku berkata “itu dia, lihat dia, dia yang kau rindu bukan?”,
mataku menanggapi hati dengan cepat dan dia langsung mengarah padamu.
otakku langsung menyentak dan berkata “apa yang kau lihat! palingkan matamu sebelum ada yang berdarah disini!”
tubuhku tidak merespon dia malah mematung.
otakku heran, kemudian stimulusnya menyampaikan alasan kenapa tubuh mematung.
saat itu juga otakku mulai gencar mencari alasan “perban” menghentikan darah.
iya, tiba-tiba hatiku berdarah.
paru-paruku tidak tinggal diam, dia pun meremas dinding-dindingnya dengan kuat agar dia tidak sesak.
sakit, remasannya terlalu kuat.
ahhh!
mulutku yang mengatup mengeluarkan desahan nafas agar sesaknya tidak membunuhku.
“kan sudah kukatakan palingkan matamu. aku capek mencari alasan agar kau mengerti maksudku, aku capek membuat kau mengerti bahwa luka ini sudah dalam” otakku berkata lirih hampir menyerupai isakan.
aku tau dia lelah, sama lelahnya denganku.
tapi hatiku yang berdarah itu masih mau “berdarah” dengan alasan yang sama.
saat itu kau terlihat tampan, ah bukan terlihat tampan tapi karena kau memang selalu tampan dimataku.
kau tau? aku gugup. banyak yang aku pikirkan dan lakukan agar tidak ada disana.
tapi memang hatiku yang tidak memiliki aturan memerintah otakku untuk menjadikannya masuk akal agar aku datang keacara itu.
aku yang lemah atau memang perasaan “menyedihkan” ini yang terlalu kuat hingga aku ada disana, melihatmu.
mulutku sibuk berbincang, gigi ku sibuk mengunjukkan diri tapi ditempat lain otak ku sibuk meredakan detak jantungku.
hatiku berkata “itu dia, lihat dia, dia yang kau rindu bukan?”,
mataku menanggapi hati dengan cepat dan dia langsung mengarah padamu.
otakku langsung menyentak dan berkata “apa yang kau lihat! palingkan matamu sebelum ada yang berdarah disini!”
tubuhku tidak merespon dia malah mematung.
otakku heran, kemudian stimulusnya menyampaikan alasan kenapa tubuh mematung.
saat itu juga otakku mulai gencar mencari alasan “perban” menghentikan darah.
iya, tiba-tiba hatiku berdarah.
paru-paruku tidak tinggal diam, dia pun meremas dinding-dindingnya dengan kuat agar dia tidak sesak.
sakit, remasannya terlalu kuat.
ahhh!
mulutku yang mengatup mengeluarkan desahan nafas agar sesaknya tidak membunuhku.
“kan sudah kukatakan palingkan matamu. aku capek mencari alasan agar kau mengerti maksudku, aku capek membuat kau mengerti bahwa luka ini sudah dalam” otakku berkata lirih hampir menyerupai isakan.
aku tau dia lelah, sama lelahnya denganku.
tapi hatiku yang berdarah itu masih mau “berdarah” dengan alasan yang sama.
Komentar
Posting Komentar